Exact matches only
Search in title
Search in content
Search in posts
Search in pages
Filter by Categories
Berita

Mensyukuri Guyuran Air dari Langit

Siswa-siswi SDN Pucangan 2, Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, membawakan tari Nini Thowong dalam prosesi pembukaan Festival Hujan Internasional ke-2 yang digelar di Studio Mugi Dance, Desa Pucangan, Kecamatan Kartasura, Sabtu (9/1).

Mendung menyelimuti langit di atas Desa Pucangan, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Sebanyak 21 pelajar sekolah dasar mengenakan jas hujan warna-warni sewarna pelangi. Mereka menari-nari lincah, bersukacita.

Di pekarangan Studio Mugi Dance di Desa Pucangan, siswa-siswi Sekolah Dasar Sambon 2 Boyolali itu bersama Gabriella Rosa Bertin asal Newcastle, Inggris, dan Andi Pranata tampil membawakan karya tari Dispersi: Menulis dalam Warna. Mereka berkolaborasi dengan pelajar SD Pucangan 2, Kartasura, yang membawakan tari Nini Thowong dalam Festival Hujan Internasional 2016, Sabtu (9/1).

Tari Dispersi merupakan kreasi Gaby, sapaan Gabriella, dengan dibantu penata gerak Andi Pranata. Diiringi komposisi musik racikan Dedek Wahyudi, Gaby dan anak-anak sekali-sekali berlari-lari kecil di antara penonton lalu menari-nari berkelompok sesuai dengan warna jas hujan yang mereka pakai.

Jas hujan berwarna merah, kuning, hijau, biru, ungu, dan merah muda segera mengingatkan pada keindahan pelangi setelah hujan reda. Hujan dan pelangi seperti membawa keceriaan bagi anak-anak. Sayang, hujan tak kunjung menyapa meskipun mendung menggelayut dan angin kencang bertiup. Namun, mereka tetap bersukacita.

”Tari ini tentang penciptaan pengetahuan, bagaimana belajar melalui lingkungan dan tradisi lokal,” kata Gaby.

Festival Hujan Internasional yang digagas seniman tari Mugiyono Kasido itu digelar untuk kedua kalinya setelah yang pertama diselenggarakan tahun 2015. Nuri Aryati, Direktur Program Festival Hujan Internasional 2016, mengatakan, ada 300 seniman terlibat, termasuk di antaranya para pelajar dan mahasiswa.

Mereka antara lain Suprapto Suryodarmo dari Solo, Jamaloge dari Kalimantan Timur, Yuan Moro Ocampo dari Filipina, Ayu Permatasari dari Lampung, Komunitas Seni Lobo dari Palu, Saung Swara dari Salatiga, Saka Galeries dari Solo, serta Komunitas Hitam Putih dari Sumatera Barat. Tidak hanya tari, ditampilkan pula teater, wayang kulit, dan performing art.

Seperti tahun lalu, festival diadakan di pekarangan Mugi Dance Studio yang cukup luas di Pucangan. Para seniman dipersilakan memilih ”panggung” sendiri untuk pentas. Ada beberapa panggung, yaitu pendopo, kandang kerbau, kolam ikan, panggung terbuka berlantai semen yang disebut mandala, dan tanah lapang. Pertunjukan digelar berpindah-pindah.

Penonton turut bergeser ketika pertunjukan pindah panggung. Disediakan kursi-kursi plastik yang dengan mudah dapat diangkat dan dipindahkan penonton. Namun, tidak ada atap peneduh yang melindungi penonton dari tetes air hujan.

Hari kedua festival, Minggu (10/1), hujan turun sejak sore. Para penari semakin bersemangat dan menikmati. Penonton memakai jas hujan dan sebagian membuka payung. Di bawah rintik air, penari Jamaloge, bersama Nino Saputra dan Sukma Devianti, mementaskan karya tari berjudul Pekat di depan kandang kerbau.

 

Mencintai alam

Tari kontemporer kreasi Jamal ini bercerita tentang tragedi kebakaran hutan di Kalimantan yang mengakibatkan bencana kabut asap pekat. Diiringi musik dari kelompok Saung Swara, ketiganya menari dengan hidung ditutup kain dan bersuara pilu. Akhirnya, guyuran air dari langit menjadi penyelamat kehidupan karena memadamkan api. ”Perusakan alam di Kalimantan salah satunya telah menimbulkan bencana asap pekat,” katanya.

Melalui tarian itu, Jamal menyampaikan ajakan untuk mencintai alam. Sudah semestinya kearifan lokal kembali dijunjung dalam mengelola hutan. Kearifan lokal mengajarkan untuk tidak serakah saat membuka hutan.

Di panggung mandala, Yuan Moro Ocampo menyajikan performing art berjudul Jejaring Kehidupan. Dalam salah satu adegan, ia meniup berulang-ulang salah satu wadah berisi tepung putih. Penonton berpartisipasi membaca lembar-lembar kertas bertuliskan binatang, tumbuhan, hingga nama orang dan artis serta tokoh-tokoh dunia. Dari setiap lembar kertas yang dibacakan penonton, Yuan Moro kemudian meniup wadah berisi tepung putih hingga beterbangan. Pada akhir pertunjukannya, ia berkata, ”manusia”.

Direktur Artistik Philippine International Performance Art Festival itu ingin menunjukkan bahwa setiap makhluk dapat hilang tak berbekas, seperti debu yang tertiup angin. Apabila tak ada kepedulian terhadap alam, semua makhluk hidup termasuk manusia beserta lingkungannya terancam musnah. ”Mudah-mudahan dengan pertunjukan tadi bisa meningkatkan kesadaran penonton agar lebih peduli terhadap lingkungan sekitar,” kata Yuan Moro.

Nuri mengatakan, festival hujan diadakan untuk mengajak masyarakat mensyukuri hujan. Hujan selayaknya dipandang sebagai berkah yang membawa kesejahteraan bagi manusia. Selain menampilkan ragam seni, juga diadakan lokakarya membuat biopori.

”Festival hujan multidimensi tujuannya. Ini juga untuk menghadirkan kesenian di desa agar warga desa bisa melihat langsung kesenian dari daerah-daerah lain sehingga memiliki wawasan lebih luas,” ujar Nuri.

Menurut Mugiyo, di benak sebagian masyarakat hujan dipandang sebagai halangan, bahkan kehadirannya memunculkan kekhawatiran. Khawatir terjadi bencana, seperti banjir ataupun tanah longsor. Padahal, bencana justru terjadi akibat ulah manusia sendiri yang abai terhadap lingkungan.

”Hujan jangan dipandang sebagai penyebab bencana, tapi sebagai berkah. Tinggal bagaimana mengelolanya agar tidak terjadi bencana,” tuturnya.

(ERWIN EDHI PRASETYA)

Tulisan ini terbit di Harian Kompas, Sabtu, 16 Januari 2016 dengan judul “Mensyukuri Guyungan dari Langit”

Foto: KOMPAS / ERWIN EDHI PRASETYA

Leave a Reply

Disponsori oleh

Didukung oleh

Diselenggarakan oleh